AGROFORESTI DI INDONESIA

Pertanian pada awalnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sehingga tujuan dari budidaya tanaman adalah untuk produksi edible plant. Perkembangan selanjutnya dalam budidaya tanaman adalah menanam tanaman dengan fungsi lain seperti tanaman obat, tanaman industri, tanaman hias dan sebagainya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hal tersebut juga terjadi dalam perkembangan sistem budidaya tanaman di Indonesia, dari sistem tradisional menuju konvensional dan modern, dari penggunaan teknologi rendah sampai teknologi tinggi.

Terdapat bermacam bentuk pertanian tradisional. Salah satu adalah ladang berpindah, dan setelah manusia berkomunitas dan membentuk perkampungan sendiri maka lahan pertanian juga menetap. Ladang berpindah biasanya berotasi dari satu zona ke zona lainnya untuk beberapa kali masa tanam. Kelebihan dari sistem ini adalah tanahnya tapi memiliki kekurangan untuk pembukaan lahan yang menggunakan lahan hutan alami, menggganggu habitat hutan dan bahkan melakukan pembakaran lahan untuk membuka lahan.

Lahan pertanian tradisonal menetap yang umum ditemukan di Indonesia adalah sistem Agroforestri. Setiap tempat memiliki bentuk dan ke ciri tersendiri. Sistem murni agroforestri dengan menumpang tanam di daerah hutan adalah wanatani. Sementara kebun dan talun adalah pertanian masyarakat dengan level tanaman yang bertingkat dengan bentuk menyerupai hutan. Manajemen lahan yang ditawarkan oleh sistem pertanian ini cukup baik karena dapat mengoptimalkan pemanfaatan luasan lahan dan penyerapan sinar matahari sehingga dapat mengoptimalkan produksi lahan dan meningkatkan pemasukan. Secara ekologis, sistem agroforestri juga memberikan jasa ekologis, biodiversitas dan estetika.

Selain agroforestri, juga terdapat sistem pertanian monokultur tradisional dengan membaca dan menghargai alam sehingga resiko bencana bisa dikurangi. Contohnya adalah sistem sawah tadah hujan. Ada satu lagi sistem pertanian di Indonesia yang menyerupai kebun yaitu pekarangan. Hal yang khas dari pekarangan adalah berada di sekitar rumah. Sistem pertanian tradisional ini pada umumnya menggunakan teknologi rendah dengan tujuan awal untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Selain manfaat ekologis, pekarangan juga memberikan manfaat sosial karena pekarangan juga difungsikan sebagai tempat bersosialisasi antar anggota keluarga dan dengan tetangga sekitar.

Untuk tujuan produksi, sistem tradisional ini sebagian besar telah tergantikan oleh sistem konvensional semenjak adanya revolusi hijau (1968-1992) yang dilaksanakan pada masa Soeharto. Tujuan  utama dari revolusi hijau adalah untuk meratakan produksi beras di seluruh wilayah Indonesia dengan membuka lahan sawah dengan teknologi terbaru saat itu. Melalui kebijakan pemerintah ini, Indonesia sempat merasakan swasembada beras. Namun kebijakan tersebut memiliki beberapa dampak terutama di bidang lingkungan. Revolusi hijau menerapkan sistem ekstensifikasi masif dengan penggunaan pupuk dan pestisida anorganik yang mampu merusak keseimbangan ekosistem lingkungan sekitar,  mengurangi jumlah makhluk hidup tanah, merusak struktur dan tekstur tanah, meningkatkan resistensi hama penyakit, polusi air, bahkan kesehatan manusia. Dampak lain dari penerapan revolusi hijau yaitu di bidang sosial budaya dengan perubahan diet masyarakat. Masyarakat Indoenesia yang majemuk memiliki makanan pokok yang berbeda-beda sebelumnya, seperti nasi, jagung, singkong, sagu dan ubi jalar, kemudian dipaksa untuk hanya memakan nasi.

Di sektor hortikultura, sistem pertanian juga mengalami perubahan yang tidak jauh berbeda dengan sektor tanaman pangan. Hal yang lebih mencolok adalah lebih diperhatikannya masalah ekologis (modern concept of ecology) pada akhir tahun 90-an dengan dimulainya pertanian organik dan masuknya sistem pertanian teknologi hidroponik. Sederhananya, pertanian organik, apalagi dengan sistem terpadu, meminimalisasi input materi dan energi yang masuk ke dalam sistem ekologis pertanian tersebut sementara hidroponik hanya memberikan bahan mineral penting yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh. Kedua sistem ini masih kurang disukai oleh petanian Indonesia pada umumnya. Pertanian organik tidak bisa memberikan hasil produksi tinggi dengan cepat, sementara hidroponik yang berteknologi tinggi membutuhkan modal awal yang tidak murah, terutama instalasinya. Kebanyakan perusahaan pertanian yang menggunakan kedua sistem ini merupakan perusahaan investasi dari luar dan hasil produksinya hanya untuk kalangan menengah ke atas atau diekspor ke luar negeri. Oleh karena itu, sistem pertanian konvensional seperti pada masa revolusi hijau lebih umum dipraktekkan.

Selain alih sistem pertanian agroforestri menjadi lahan sawah, sistem pertanian tradisional juga beralih ke sistem perkebunan, seperti sawit, karet, teh, kopi dan tebu dimana hampir kesemua tanaman tersebut adalah tanaman introduksi. Sistem pertanian ini pada umumnya dilaksanakan dengan sistem monokultur intensif skala luas dan memiliki perkembangan teknologi yang luar biasa. Pembahasan mengenai perkebunan ini akan diberikan pada sub judul berikutnya.

Perubahan sistem pertanian tidak merata di beberapa daerah di Indonesia yang berdampak kepada perubahan teknologi dari tradisional ke teknologi tinggi. Hal ini lebih disebabkan oleh sosial budaya. Di Sumatera Barat, perubahan alih fungsi dan penggunaan lahan tidak mudah karena beberapa area merupakan tanah ulayat yaitu tanah yang dimiliki leh suku tertentu dan penggunaannya harus berdasarkan kesepakatan ninik mamak. Proses kesepakatan inilah yang tidak mudah didapatkan. Begitu juga di beberapa suku tradisonal yang menghargai tinggi alam, mereka memiliki kearifan lokal tinggi seperti mengenai pembagian irigasi, hutan keramat dan penanaman tanamanan obat tradisional.

Updated: November 18, 2020 — 8:33 am

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *